This is a fiction I made for an Indonesian assignment. "Make a fiction with marine theme."
Its in Indonesian only so if you want to read it in your language, use Google Translate. Caution: I tested GT Indonesia > English, the translation got confused with he, she, him, his, and her. Because some Indonesian words are gender neutral.
Anyway, enjoy!
***
Setiawan tinggal dekat pantai Parai, Bangka, seluruh hidupnya. Dari lahir hingga ulang tahun ke 17 nya, dan seterusnya yang akan datang. Berjalan 15 menit keluar dari rumahnya dan dia akan melewati pantai. Setiap hari melewati rute yang sama menuju sekolahnya. Apa yang dia lihat disana bukanlah pantai yang indah dan asri, melainkan tumpukan sampah di pasir, sesekali terbawa ombak ke laut. Pagi dan siang, pergi dan pulang. Saat dia melihatnya dia hanya mendenguskan nafas dalam kekecewaan.
Setiawan tinggal didalam keluarga tingkat menengah. Hanya sebuah keluarga yang biasa saja, tidak mewah. Ayahnya adalah seorang pemilik toko kecil di pantai Parai. Dulunya, itu bukan hanya sekedar toko, melainkan restoran kecil yang juga menjual suvenir untuk para turis. Namun setelah beberapa tahun, pantai ini sepi pengunjung. Dikarenakan oleh sampah yang dibuang oleh turis dan orang lokal yang menirukan mereka. Dan restoran itu pun kehilangan penghasilan, dan dengannya, pekerjanya mulai berhenti bekerja untuknya. Toko suvenir tersebut hanyalah sebuah bayangan dari kejayaan masa lalu nya. Yang datang hanya penduduk sekitar untuk berbelanja.
Pada suatu sore, ayahnya pulang lebih cepat dari biasanya. Setiawan sedang mengerjakan tugasnya di depan televisi. "Selamat sore." Ucap ayahnya, dan dibalas oleh Setiawan, "Sore, ayah."
"Tugas?" Tanya sang ayah sambil duduk di lantai, bersebelahan dengan Setiawan.
"Iya, tugas bahasa Indonesia. Membuat cerpen dengan tema kelautan." Balasnya, menjelaskan.
"Kau tahu, belakangan ini ayah bingung sekali."
"Kenapa, ayah?" Mereka membuka percakapan sambil menonton televisi. Setiawan menutup buku tulisnya.
"Ayah sering melihat turis lewat sini, sesekali mengunjungi pantai. Tapi hanya untuk membuang sampah. Mereka datang kesini untuk melihat tempat wisata lain dan ini hanya tempat peristirahatan. Kenapa bisa begitu ya?"
"Mungkin mereka kira membuang sampah disini adalah hal yang biasa. Akhirnya malah ditirukan oleh warga sekitar. Tidak ada rasa hormat sama sekali."
"Begitulah, nak." Potong ayahnya, menutup pembicaraan ini. "Ayah mau mandi dulu."
"Oke." Balas Setiawan.
"Sudah mandi, belum?"
"Belum, ayah."
"Mandi donk! Sudah maghrib, wan."
"Hahaha, baiklah."
Pada suatu pagi, ada keributan tidak jelas di dalam kelas. Sepertinya para murid sekelas Setiawan sedang membicarakan sesuatu. Karena Setiawan datang lebih siang daripada teman berkumpulnya, dia tidak menyadari apapun. Saat dia masuk kelas, temannya menyapanya.
"Hey, setan!" Sapa salah satu dari mereka. "Setiawan! Bukan setan." Balasnya kesal. Memang mereka sangat dekat, tapi karena nama Setiawan sulit dibuat menjadi panggilan, mereka asal menyebutnya setan. Jangan ditiru, ya?
"Set, kamu sudah tahu? Dikelas kita akan ada murid baru, lho!"
"Murid perempuan!" Tambah salah satu temannya. "Kalian senang sekali sepertinya, tapi bukankan kalian sudah punya pacar?" Tanya Setiawan bingung.
Salah satu temannya menjelaskan, "Kan kamu, masih lajang." Dengan malu, Setiawan pun menghindari percakapan tersebut. "Ah, sudah, sudah! Yang seperti ini, jangan bahas denganku. Kalian hanya membuatku malu saja."
Tak lama setelahnya, bel sekolah berbunyi dan wali kelas mereka memasuki ruangan. Dengan terburu-buru, para murid duduk di kursi mereka. "Hari ini ada murid pindahan. Dia berasal dari luar kota. Berbaik-baiklah dengannya."
Lalu seorang perempuan memasuki kelas, langkahnya yang anggun bagai menghipnotis Setiawan. Cantik sekali, pikirnya.
"Perkenalkan, namaku Aprilia. Mohon kerjasamanya." Setelah perkenalan tersebut, Aprilia duduk di barisan kedua dari depan. Setiawan hanya bisa melihat badannya yang tertutup oleh rambutnya karena dia duduk jauh di belakang.
Saat jam pulang sekolah telah tiba, Setiawan memberanikan diri untuk berbicara kepada Aprilia yang sedang melewati gerbang sekolah. Setelah berjalan beberapa langkah, Setiawan menyadari bahwa jalan ke rumah mereka melewati rute yang sama.
"Hey," Setiawan mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk berbicara kepada Aprilia.
Sadar ada yang memanggilnya, Aprilia menoleh ke belakang. "Hm? Oh, hallo. Kamu siapa ya?"
"Aku Setiawan, kita sekelas."
"Tapi mengapa aku tidak melihatmu?" Tanya Aprilia.
"Aku duduk jauh di belakang." Jelas Setiawan singkat. "Rumahmu lewat sini juga?"
"Ya, depan pantai." Jawab Setiawan.
"Sungguh? Apakah artinya setiap pagi dan siang aku akan melewati rumahmu?"
"Mungkin. Jika kamu lewat, akan aku panggil."
"Untuk apa?"
"Mengobrol tentang sesuatu? Aku tidak tahu."
"Mungkin jika ada tugas sekolah, kita bisa mengerjakannya dengan saling membantu. Bersama." Aprilia memberi sugesti.
"Iya. Kamu kan, baru pindah. Bisa saja kamu ketinggalan materi. Jika ada masalah, tanya saja padaku!" Kata Setiawan bangga.
"Baiklah!" Kata Aprilia setelah tertawa kecil.
Beberapa waktu berlalu dan mereka pun menjadi dekat, seperti sepasang kekasih. Namun sebenarnya mereka hanyalah teman. Setiawan belum mengutarakan perasaannya terhadap Aprilia, bahwa dia menyukainya. Alasan dia tidak melakukannya adalah, terpikir olehnya, mungkin ini hanya perasaan sementara. Kita belum lama kenal. Walaupun kita saling membantu dan pergi ke sekolah bersama, namun yang memiliki rasa ini hanya diriku. Belum tentu dia akan membalasnya. Jadi kusimpan perasaan ini jauh didalam.
Pada suatu akhir minggu, Setiawan melihat keluar dari jendela kamarnya yang menghadap ke pantai untuk merenung. Akankah perasaan ini terbalaskan? Setelah itu dia mengurungkan niatnya untuk tidur siang. Saat menerawang, dia melihat sesosok wanita yang sepertinya dia kenal di pantai. Itu adalah Aprilia. Dia tengah memunguti sampah yang berserakan seraya menikmati angin pantai. Hatinya tergoyah setelah melihatnya, namun dia tidak keluar untuk menanyakannya. Dia khawatir akan malu, sudah lama tinggal disini namun tidak mempunyai kesadaran diri untuk membersihkan pantai.
Suatu hari setelah pulang sekolah, mereka berjalan bersama menuju rumah mereka. Sebelum melewati rumah Setiawan mereka sudah memasuki area depan pantai.
"Wan, tunggu sebentar ya." Kata Aprilia lembut sebelum dia memasuki pantai. Setiawan mendapat sapaan yang layak dan lebih lembut daripada sebutan yang diberikan kawan-kawannya dikelas. Sungguh bahagia Setiawan tiap kali dipanggil oleh Aprilia.
Lalu Setiawan memperhatikan Aprilia membersihkan sampah. Dilihatnya sedikit bagian pantai yang dia bersihkan beberapa hari lalu menjadi kotor lagi. Hal ini membuat hatinya geram. Perbuatan baiknya hilang begitu saja. Setiawan pun mendekati Aprilia dan membantunya membersihkan pantai.
"Eh, Wan, mengapa tiba-tiba kamu membantuku?" Tanya Aprilia bingung.
"Aku tidak ingin melihatmu melakukan ini sendirian. Dan lagipula, aku kagum melihatmu gigih membersihkan tempat ini walaupun hanya sedikit." Setiawan menjelaskan kepada Aprilia sembari sesekali tersenyum melihatnya.
"Ah, terima kasih! Tapi sungguh, ini bukan apa-apa." Balas Aprilia yang tersipu malu.
"Lia, aku penasaran. Yang mendorongmu untuk mulai membersihkan tepi pantai ini, apa sih?"
"Tidak ada alasan spesial. Aku hanya suka kebersihan dan juga pantai. Saat pertama kali diberitahu akan pindah dekat pantai, aku sangat bahagia. Namun saat aku melihat pantai ini, aku menjadi agak sedih. Maka kuputuskan untuk membersihkannya sedikit demi sedikit."
Sebuah alasan yang sederhana namun juga sangat mulia. "Ah, aku mengerti."
"Memang ada apa?" Tanya Aprilia, penasaran atas reaksi Setiawan terhadap jawabannya."
"Jadi begini lho, dari dulu tidak ada yang begitu peduli dengan kebersihan pantai ini. Saat aku masih kecil, pantai ini sangatlah bersih. Namun seiring waktu menjadi kotor karena sampah yang dibuang turis dan warga lokal yang menirukan mereka. Aku sedih melihatnya."
Setelah mendengar cerita tersebut, Aprilia, yang sering dipanggil Lia secara akrab oleh Setiawan, hanya bisa terdiam. Sebenarnya Aprilia juga senang bisa berduaan dengan Setiawan, namun dia belum menyadari perasaannya sendiri.
"Tidak ada yang peduli, hingga hari ini. Namun sejak beberapa minggu lalu, aku memperhatikanmu membersihkan pantai ini seorang diri. Jadi, hari ini aku memutuskan untuk membersihkan pantai ini juga. Ini semua karena kamu juga, Lia." Tambah Setiawan.
Setelah ungkapan tersebut, Aprilia terkejut. "Karena diriku? Apa maksudmu?"
"Aku tidak ingin kamu sedih karena melihat pantai yang kotor ini. Aku akan membersihkan pantai ini untukmu."
"Untuk diriku..?"
"Ya, karena aku suka padamu." Jawab Setiawan dengan tersenyum.
Pernyataan tersebut membuat muka Aprilia memerah seperti tomat. Betapa manisnya wajahmu saat kau tersipu malu! Pikir Setiawan.
Setelah mendengar kata-kata Setiawan, Aprilia tiba-tiba saja berlari keluar dari pantai menuju rumahnya, meninggalkan Setiawan sendiri.
Kenapa dia lari? Apakah aku baru saja mengatakan hal yang aneh? Pasti dia menganggapku aneh... pikirnya.
Sebenarnya Aprilia senang mendengar kata-kata Setiawan, namu dia bingung ingin menjawab dengan apa. Malamnya, mereka berdua mengalami kesusahan tidur. Namun, atas alasan yang berbeda.
Keesokan harinya, Aprilia tidak berbicara sama sekali kepada Setiawan di sekolah. Namun ini tidak menghentikan Setiawan dari kegiatan membersihkan pantai. Saat pulang sekolah, dijalan menuju pantai, Aprilia menghampiri Setiawan dengan tergesa-gesa. "Tunggu!"
Setiawan berhenti dan menoleh sedikit kebelakang dan dilihatnya Aprilia berdiri dengan terengah-engah.
"Ada apa, Lia?"
Setelah mengatur nafasnya, Aprilia memohon maaf kepada Setiawan. "Maaf kemarin aku tiba-tiba berlari. Hari ini juga aku menjauhimu. Maaf sekali!"
"Ah, kenapa? Aku tidak mengerti."
"Aku berlari karena kaget, aku masih memikirkan apa yang kamu katakan kepadaku." Mereka berjalan bersama sambil berbicara.
"Aku takut bertingkah yang aneh-aneh didepan teman-temanku karena masih kaget, jadi aku terpaksa menjauhimu. Tapi aku tidak marah, kok!"
Karena masih ingin memastikan, Setiawan bertanya padanya, "Sungguh? Kamu tidak berpikir diriku aneh?"
"Tidak," Kata Aprilia menggelengkan kepalanya. "Karena aku juga suka denganmu." Tambahnya.
"Aku rasa aku telah menyukaimu sejak lama, namun sepertinya aku tidak menyadari itu hingga kemarin."
Mereka pun akhirnya dapat meluruskan kesalahpahaman mereka dan mereka menjadi sepasang kekasih.
Hari demi hari pantai itu mereka bersihkan bersama. Walaupun tetap dipenuhi sampah lagi dan lagi, mereka tidak keberatan karena mereka menikmati waktu mereka bersama.
Tidak lama kemudian, beberapa warga sekitar mengikuti mereka dalam membersihkan pantai. Saat ayah Setiawan melihatnya, dia mendapat ide untuk mengajak teman-teman sekolah Setiawan untuk mengadakan acara bersih-bersih di pantai tersebut. Setiawan berpikir bahwa itu adalah ide yang bagus, dan mengajak teman sekelasnya untuk membantu.
Hari berubah menjadi minggu, dan minggu berubah menjadi bulan. Hubungan kasih cinta Setiawan dan Aprilia mendalam, seiring kebersihan pantai meningkat. Dan pada akhirnya, pantai tersebut menjadi bersih dan asri.
~Tamat~