SCMPlayer

June 15, 2017

Tugas Menulis Jurnalistik 2, Catatan Perjalanan



Wandering in Wonosobo

Rabu, 29 Oktober, 2014.
Setelah beberapa hari planning, akhirnya saya berangkat ke Jogja juga. Traveling tanpa orang tua membuat saya paranoid, tapi saya merasa lebih tenang dengan adanya teman-teman saya. Kursi dekat jendela bus saya ambil agar saya dapat melihat keluar jendela agar tidak mual. Di sebelah saya duduk Adit. Di belakang kami ada Naufal yang langsung mengambil 2 kursi untuk dirinya sendiri dan di depan duduklah Jogi yang didampingi seorang guru pembimbing. Mereka semua adalah teman seperjuangan saya saat homeschooling.
Untuk mengurangi potensi mual, saya berusaha untuk tidur namun ternyata untuk menutup mata saja susah karena sang supir bus menyalakan musik dangdut dengan volume yang sangat kencang. Tidak berdaya, saya hanya bisa menikmati pemandangan jalan sambil mendengarkan dangdut. Entah mengapa, saya terkejut saat melihat jendela bus basah. Mungkin karena selama sebulan terakhir ini tidak pernah hujan.
Hujan menjadi semakin deras begitu sudah di jalan tol, dan semua orang terlihat lebih tenang dibanding saat pertama berangkat. Lebih tepatnya, mereka sudah tidur duluan. Semua gadget saya juga baterainya hampir habis, jadi saya memutuskan untuk ikutan tidur juga. Saya menyempatkan untuk men-charge HP dengan powerbank sebelum tidur.
Waktu sudah berjalan 2 jam sejak saya menutup mata. Saat bangun, kami berhenti di sebuah restoran untuk makan dan menggunakan toilet. Saya memerika HP saya setelah break pendek dari makan dan terkejut saat melihat ternyata persentase baterai hp saya tidak naik. Powerbank saya rusak ternyata. Apes.
Untungnya banyak power outlet yang tersedia di restoran ini, jadi saya mengekploitasinya semaksimal mungkin sebelum waktunya berangkat lagi. Saya hanya berharap bisa tidur di bus karena perjalanan masih sekitar 10 jam lagi.
Pada pagi harinya saya bangun di Masjid Agung Jami Wonosobo dan kami semua turun untuk melakukan sholat subuh. Saya hampir tercebur di sebuah kolam cetek di dalam tempat wudhu masjid. Saya tidak melihatnya karena masih ngantuk. Fungsi kolam 1x1 meter dengan kedangkalan 30 cm ini adalah untuk membilas setelah melepas alas kaki untuk masuk ke tempat wudhu. Setelah sholat subuh, semua murid dari kelas IPA dan IPS kembali bermain gadget dan meng-update status mereka. Ternyata signal reception di Masjid Agung ini lumayan bagus. Dari Masjid Agung, kita berganti kendaraan dari bus pariwisata menjadi metro mini kecil dan berangkat ke puncak Dieng untuk menyaksikan sunrise. Jam menunjukkan waktu pukul 4 di pagi hari.
Walaupun saya masih ngantuk, tapi bisa ngeliat sunrise itu gak nyesel deh.
Saat berada di puncak Dieng, langsung saja ada yang tidak sopan dan membuang sampah sembarangan ke bawah sisi gunung. Saya tidak sempat berbuat apapun untuk mengentikannya. Daripada menegur, saya melihat ke bawah, dimana banyak sampah menumpuk diantara hijau dedaunan. Mulai dari sampah standard seperti bungkus rokok, botol air dan cup popmie hingga sepatu sendal bisa dilihat disana. Kacau.

Setelah melihat sunrise, kita kembali naik ke metro mini tersebut untuk ke Candi Arjuna. Banyak candi-candi yang tengah menjalani restorasi. Cuaca cerah dan matahari silau ke mata walaupun baru jam 7 pagi. Saya terkejut melihat nafas saya menjadi uap disana. Ini pertama kalinya saya melihat nafas menjadi uap. “Kaya di luar negeri aja,” saya pikir.


Disana kita beristirahat sebentar di sebuah rumah kecil, menunggu dijemput oleh metro mini yang sebelumnya. Dari Candi Arjuna, kita mengunjungi Kawah Sikidang. Saat pertama kali turun dari metro mini, saya menghirup bebausan yang tidak sedap. Langsung saja, indera penciuman saya dibombardir dengan bau sulfur. Seperti campuran telur busuk, kotoran anjing dan berbagai macam bau tidak sedap lainnya. Saya menolak keluar dari kendaraan dan memilih untuk tinggal di belakang bermain gadget. Awalnya saya tidak mau turun walaupun dibujuk, namun ternyata bau sulfur juga memasuki metro mini kecil jadi saya mau tidak mau akhirnya mendaki Kawah Sikidang. Toh, turun atau tidak akhirnya mual juga karena bau sulfur.

Petualangan kami di Kawah Sikidang tidak terlalu lama, tentu saja diakibatkan oleh bau sulfur yang menyengat. Selanjutnya kami berkunjung ke Telaga Warna namun ternyata sedang surut. Sangat surut bahkan, sampai bisa berjalan di dasarnya. Karena tidak ada air, atau lebih tepatnya pemukaan air sedang sangat rendah, kami tidak menyaksikan perubahan warna telaga. Kita berhenti disana lumayan lama tapi tidak melakukan apa-apa. Saat itulah saya sadar bahwa saya baru tidur selama 4 jam dari 2 hari perjalanan, belum sarapan, makan siang dan mandi pagi. Entah mengapa saya merasa seperti seorang gelandangan…
Ingin tahu kelanjutanya? Kunjungi link berikut.