Wandering in Wonosobo
Rabu,
29 Oktober, 2014.
Setelah
beberapa hari planning, akhirnya saya
berangkat ke Jogja juga. Traveling
tanpa orang tua membuat saya paranoid, tapi saya merasa lebih tenang dengan
adanya teman-teman saya. Kursi dekat jendela bus saya ambil agar saya dapat
melihat keluar jendela agar tidak mual. Di sebelah saya duduk Adit. Di belakang
kami ada Naufal yang langsung mengambil 2 kursi untuk dirinya sendiri dan di
depan duduklah Jogi yang didampingi seorang guru pembimbing. Mereka semua
adalah teman seperjuangan saya saat
homeschooling.
Untuk
mengurangi potensi mual, saya berusaha untuk tidur namun ternyata untuk menutup
mata saja susah karena sang supir bus menyalakan musik dangdut dengan volume
yang sangat kencang. Tidak berdaya, saya hanya bisa menikmati pemandangan jalan
sambil mendengarkan dangdut. Entah mengapa, saya terkejut saat melihat jendela
bus basah. Mungkin karena selama sebulan terakhir ini tidak pernah hujan.
Hujan
menjadi semakin deras begitu sudah di jalan tol, dan semua orang terlihat lebih
tenang dibanding saat pertama berangkat. Lebih tepatnya, mereka sudah tidur
duluan. Semua gadget saya juga baterainya hampir habis, jadi saya memutuskan
untuk ikutan tidur juga. Saya menyempatkan untuk men-charge HP dengan powerbank
sebelum tidur.
Waktu
sudah berjalan 2 jam sejak saya menutup mata. Saat bangun, kami berhenti di
sebuah restoran untuk makan dan menggunakan toilet. Saya memerika HP saya
setelah break pendek dari makan dan
terkejut saat melihat ternyata persentase baterai hp saya tidak naik. Powerbank saya rusak ternyata. Apes.
Untungnya
banyak power outlet yang tersedia di
restoran ini, jadi saya mengekploitasinya semaksimal mungkin sebelum waktunya
berangkat lagi. Saya hanya berharap bisa tidur di bus karena perjalanan masih
sekitar 10 jam lagi.
Pada
pagi harinya saya bangun di Masjid Agung Jami Wonosobo dan kami semua turun
untuk melakukan sholat subuh. Saya hampir tercebur di sebuah kolam cetek di
dalam tempat wudhu masjid. Saya tidak melihatnya karena masih ngantuk. Fungsi
kolam 1x1 meter dengan kedangkalan 30 cm ini adalah untuk membilas setelah
melepas alas kaki untuk masuk ke tempat wudhu. Setelah sholat subuh, semua
murid dari kelas IPA dan IPS kembali bermain gadget dan meng-update
status mereka. Ternyata signal reception
di Masjid Agung ini lumayan bagus. Dari Masjid Agung, kita berganti kendaraan
dari bus pariwisata menjadi metro mini kecil dan berangkat ke puncak Dieng untuk
menyaksikan sunrise. Jam menunjukkan
waktu pukul 4 di pagi hari.
Walaupun saya masih ngantuk, tapi bisa ngeliat sunrise itu gak nyesel deh. |
Saat
berada di puncak Dieng, langsung saja ada yang tidak sopan dan membuang sampah
sembarangan ke bawah sisi gunung. Saya tidak sempat berbuat apapun untuk
mengentikannya. Daripada menegur, saya melihat ke bawah, dimana banyak sampah
menumpuk diantara hijau dedaunan. Mulai dari sampah standard seperti bungkus
rokok, botol air dan cup popmie hingga sepatu sendal bisa dilihat disana.
Kacau.
Setelah
melihat sunrise, kita kembali naik ke
metro mini tersebut untuk ke Candi Arjuna. Banyak candi-candi yang tengah
menjalani restorasi. Cuaca cerah dan matahari silau ke mata walaupun baru jam 7
pagi. Saya terkejut melihat nafas saya menjadi uap disana. Ini pertama kalinya
saya melihat nafas menjadi uap. “Kaya di luar negeri aja,” saya pikir.
Disana
kita beristirahat sebentar di sebuah rumah kecil, menunggu dijemput oleh metro
mini yang sebelumnya. Dari Candi Arjuna, kita mengunjungi Kawah Sikidang. Saat
pertama kali turun dari metro mini, saya menghirup bebausan yang tidak sedap.
Langsung saja, indera penciuman saya dibombardir dengan bau sulfur. Seperti
campuran telur busuk, kotoran anjing dan berbagai macam bau tidak sedap
lainnya. Saya menolak keluar dari kendaraan dan memilih untuk tinggal di
belakang bermain gadget. Awalnya saya
tidak mau turun walaupun dibujuk, namun ternyata bau sulfur juga memasuki metro
mini kecil jadi saya mau tidak mau akhirnya mendaki Kawah Sikidang. Toh, turun
atau tidak akhirnya mual juga karena bau sulfur.
Petualangan
kami di Kawah Sikidang tidak terlalu lama, tentu saja diakibatkan oleh bau
sulfur yang menyengat. Selanjutnya kami berkunjung ke Telaga Warna namun
ternyata sedang surut. Sangat surut bahkan, sampai bisa berjalan di dasarnya.
Karena tidak ada air, atau lebih tepatnya pemukaan air sedang sangat rendah,
kami tidak menyaksikan perubahan warna telaga. Kita berhenti disana lumayan
lama tapi tidak melakukan apa-apa. Saat itulah saya sadar bahwa saya baru tidur
selama 4 jam dari 2 hari perjalanan, belum sarapan, makan siang dan mandi pagi.
Entah mengapa saya merasa seperti seorang gelandangan…
Ingin tahu kelanjutanya? Kunjungi link berikut.